‘Pulau Koloni’ Untuk Mereka Yang
Kaya
(Surat Terbuka
Menanggapi Artikel Gubernur Bali)
Oleh:
Agung
Wardana
Kepada Yth. Tuan Gubernur Bali,
Pertama-tama, saya sebagai warga Bali yang berada di
luar negeri berterima kasih atas perkenan Tuan Gubernur untuk menuliskan opini
melalui artikel sebuah media online
yang berjudul “Reklamasi Teluk Benoa untuk Masa Depan Bali”. Artikel yang
merupakan upaya Tuan dalam melakukan counter
- lebih tepatnya akomodasi - argumen yang muncul pada Dialog Terbuka,
tertanggal 3 Agustus 2013 di Wisma Sabha ini telah membantu saya memahami apa
yang kini sebenarnya sedang terjadi di Bali.
Berdasarkan artikel yang Tuan tuliskan dan sebarkan,
saya bermaksud memberikan tanggapan. Terdapat beberapa hal yang masih
mengganjal dan harus saya ungkapkan sebagai wujud kepedulian saya terhadap
tanah kelahiran, Bali, dan kontribusi berdasarkan swadarma saya. Adapun pendapat saya adalah sebagai berikut:
Pertama, saya harus menolak usaha Tuan untuk mereduksi
megaproyek menjadi ‘reklamasi’. Hal ini telah pula saya sampaikan pada tulisan
saya sebelumnya. Bahwa mereduksi megaproyek ke dalam satu bentuk kegiatan saja
(reklamasi) akan berpotensi untuk mengaburkan corak ekonomi-politik yang menjadi
tujuan megaproyek ini ke dalam suatu kegiatan teknis belaka. Megaproyek
tersebut tidak hanya terdiri dari kegiatan reklamasi (pengurugan) tetapi akan
dilanjutkan dengan pembuatan pulau lengkap dengan kompleks akomodasi pariwisata
dan fasilitas pendukung. Tidak hanya itu, proses produksi dan reproduksi relasi
sosial untuk mendukung produksi merupakan bagian integral dari megaproyek
nantinya.
Karena totalitas proses kegiatan hanya memiliki satu
tujuan utama, yakni akumulasi modal, maka saya lebih suka menyebutnya sebagai
megaproyek ‘pulau koloni’. Ya! Bersama ndoro
investor, Tuan sedang memimpikan sebuah pulau koloni di mana masyarakat Bali
hanya akan menjadi pelayan bagi orang-orang kaya penghuni koloni. Sekolah dan
rumah sakit pun Tuan sediakan untuk membuat para pelayan selalu sehat dan
semakin terampil dalam melayani kepada sang ndoro
majikan. Nilai ideal pendidikan - sarana untuk ‘memanusiakan’ manusia – telah
Tuan ubah menjadi sarana mencetak pelayan-pelayan mereka yang berduit dan
berkuasa.
Kedua, saya berusaha memahami argumentasi Tuan bahwa
jika pulau koloni ini kelak terbentuk maka akan menjadi milik masyarakat Bali.
Daratan dan luasan hutan Bali juga akan bertambah, menurut Tuan. Jika memang
benar pulau yang Tuan maksud sebagai milik rakyat Bali, maka rezim yang
seharusnya mengatur adalah ‘common
property’ (aset bersama) yang berhak dinikmati oleh siapa pun rakyat Bali
tanpa membedakan kelas, etnis dan gender.
Namun, melihat masterplan-nya, pulau koloni itu merupakan semi publik-private property, konon milik
publik tetapi dibawah penguasaan privat (investor). Syarat-syarat yang Tuan
sebutkan dalam SK pun hanya merupakan formalitas yang umumnya ada dalam setiap
SK untuk para investor.
Sebenarnya, kami yang menolak ajakan Tuan untuk
bermimpi ingin menanyakan hal yang jauh lebih dalam dari sekedar hitung angka
di atas kertas. Kepada siapa pulau itu akan dipersembahkan, dan siapa yang
menjamin bahwa kami rakyat Bali yang miskin akan diberikan hak untuk menikmati
pulau tersebut tanpa harus merasa dicurigai akan merusak kenyamanan para
penghuninya? Kami telah cukup belajar dari pengalaman bagaimana kami digeledah,
diperiksa, dan dipantau ketika ingin menikmati kawasan pariwisata yang konon
milik kami juga. Sehingga hal ini tidak sesederhana urusan kepemilikan dan
luasan daratan atau hutan semata namun menyentuh ranah keadilan
Ketiga, saat awal-awal menjabat sebagai Gubernur Bali,
Tuan begitu semangat untuk menjadi ‘gubernur air’. Tuan mengetahui dengan baik
bahwa air merupakan elemen penting bagi keberlangsungan kehidupan di Bali. Tuan
juga paham betul bahwa konsumen air paling besar di Bali adalah industri pariwisata.
Celakanya, industri pariwisata menjadikan air sarana untuk bersenang-senang (pleasure) di saat masih banyak
masyarakat Bali yang kesulitan mengakses air bersih. Tidakkah ini bentuk
penghinaan terhadap masyarakat Bali?
Namun dalam artikel Tuan tidak ada satu pun yang
menyebutkan kata ‘air’ padahal air masih tetap menjadi faktor penting yang
harus ada di pulau koloni tersebut. Memprioritaskan air yang kami miliki untuk
melayani kesenangan para penghuni koloni berarti Tuan hanya akan memperparah tensi
bahkan konflik perebutan air di Bali. Mungkin sebaiknya Tuan mulai berpikir
untuk mengubah ‘mimpi’ untuk menjadi ‘gubernur air’ menjadi ‘gubernur pulau
(koloni)’.
Keempat, saya melihat Tuan blunder dalam menghubungkan industri pariwisata dan konversi lahan
dengan membuat pulau koloni sebagai jawabannya. Namun yang menarik adalah Tuan
mengakui jika konversi lahan diakibatkan oleh pembangunan. Tentu pembangunan
ini tidak bisa dilepaskan dari ranah kebijakan. Bukankah kebijakan pemerintah,
termasuk kebijakan Tuan yang memicu derasnya konversi lahan produktif dengan
mengistimewakan ekspansi dan perluasan industri pariwisata dan real estate di Bali? Jikalaupun pulau
koloni tersebut beroperasi, tidak ada jaminan industri pariwisata dan real estate di Bali akan menghentikan
ekspansi-nya dalam ‘mencaplok’ kawasan pertanian. Adalah salah satu satu hukum
dasar kapitalisme untuk terus bertumbuh dan berkembang.
Kelima, Tuan bermain wacana di ranah ‘bencana’.
Bersama investor, Tuan mengetahui betul bahwa Bali adalah kawasan rawan bencana
karena berada dalam jejeran ring of fire dan
masyarakat pun telah dibombardir pemberitaan tentang dampak bencana yang
mengerikan. Di sini, Tuan mengeksploitasi ketakutan/kecemasan masyarakat untuk
memberikan justifikasi terhadap megaproyek yang konon untuk menangkal bencana
tsunami. Betapa malaikat telah mengubah investor menjadi seorang filantropis
yang sengaja membangun pulau indah lengkap dengan fasilitasnya untuk dipersembahkan sebagai penangkal
tsunami. Apakah Tuan beserta investor ini juga sedang merencanakan untuk
menjadikan para penghuni koloni sebagai garda-garda hidup penghadang gelombang
tsunami sebelum mencapai daratan Bali? Wah, bagi seorang yang skeptik, hal ini too good to be true!
Selanjutnya, saya berterima kasih kepada Tuan karena
telah membawa argumentasi ‘keamanan’ dalam artikel Tuan. Argumentasi ini
membuat saya lebih mudah memahami apa yang sebenarnya Tuan sebut sebagai
‘terobosan dalam pembangunan pariwisata’ di Bali. Nampaknya Tuan sedang
merespon kondisi industri pariwisata Bali yang oleh Claudio Minca dinamakan ‘Bali Syndrome’ (Sindrom Bali). Di tengah
kejenuhan industri pariwisata dibutuhkan upaya untuk melakukan
re-teritorialisasi kawasan pariwisata yang telah mapan melalui kolonisasi dan
segregasi (pemisahan) antara turis dari masyarakat lokal. Tujuannya, untuk
menjauhkan para penghuni koloni dari gangguan keamanan yang selama ini sering
menyasar turis dan kawasan pariwisata di Bali.
Budaya tetap akan menjadi komoditas, namun
‘atraksi’-nya akan mengambil tempat dengan kawasan koloni. Galeri dan panggung
kesenian akan dibuat sedemikian rupa di ruang koloni guna mensimulasi serta
meromantisasi Bali demi memuaskan hasrat penghuni koloni yang dibentuk oleh
brosur pariwisata. Maksudnya, mengkonsumsi atraksi dan artefak budaya tanpa
harus bersentuhan langsung dengan dinamika masyarakat lokal yang cenderung
tidak mengindahkan lagi doktrin ‘sapta pesona’. Kawasan pariwisata yang
terpisah (koloni) akan lebih memudahkan kontrol dan pengawasan negara dan
pemilik modal tentang siapa dan apa yang bisa keluar-masuk koloni demi menjaga
kenyamanan penghuninya.
Terakhir, dalam kesempatan Dialog Terbuka, dihimbau
bahwa tidak ada lagi demonstrasi penolakan terhadap proyek pulau koloni.
Alasannya karena pihak-pihak pro dan kontro sudah menyampaikan pendapatnya dan akan
ada rangkaian even internasional di Bali, seperti Miss World, APEC, dll. Bahwa
menurut saya tidak ada hubungan logis antara dialog terbuka dengan demonstrasi
penolakan terhadap megaproyek pulau koloni. Berdemonstrasi atau menyampaikan
pendapat merupakan hak setiap orang sehingga tidak bisa Tuan larang hanya
karena Bali akan menjadi tuan rumah even internasional. Justru masyarakat Bali
harus menyebarluaskan pendapat kritisnya tentang apa manfaat dan dampak even internasional
tersebut terhadap kehidupan mereka.
Jika sebuah konferensi bertujuan untuk merundingkan ‘penggusuran’
terhadap rumah kami, maka kami tidak mungkin hanya menjadi tuan rumah yang
ramah. Kami harus menjadi tuan rumah yang cerdas dan kritis karena rumah (tanah
Bali) adalah pertahanan terakhir yang kami miliki. Kami akan mulai pelajari
perdagangan bebas yang akan menajdi agenda konferensi APEC. Artikel Tuan pun
mengakui dampak negatif perdagangan bebas terhadap Bali dalam konteks tenaga
kerja, dimana tenaga kerja lokal nantinya harus bersaing dengan tenaga kerja asing.
Proyek koloni ini sendiri akan beroperasi dalam lima tahun mendatang sedangkan
pasar bebas ASEAN akan dimulai dua tahun lagi. Pertanyaannya, apakah pulau
koloni ini dibuat untuk menampung tenaga kerja lokal atau justru merupakan
eksperimen untuk melihat bagaimana persaingan tenaga kerja secara terbuka di
era globalisasi? Hanya Tuhan, Tuan, dan ndoro
investor yang tahu jawabannya.
Penulis, Aktivis Lingkungan
Mahasiswa Doctor of Philosophy (PhD)
Murdoch University, Australia