Nasionalisme dan Rejim Paranoia
Oleh
Agung
Wardana
Ternyata ‘jualan’ nasionalisme masih laku. Itu yang
terlintas dalam pikiran saya saat membaca banyaknya respon di media massa
maupun di jejaring sosial prihal penyadapan SBY oleh intelejen Australia. Di
mulai dari pemberitaan yang mengutip bocoran data Snowden, mantan staf National Security Agency (NSA) Amerika
Serikat, bahwa SBY dan lingkarannya berupaya disadap oleh pemerintah Australia
sejak 2009. Bahkan termasuk di dalamnya, Ibu Negara, Ani Yudhoyono. Pemberitaan
pun menggelinding bak bola salju di dalam negeri hingga memancing polemik.
Nampaknya, penataran P-4 yang gencar saat rejim Orde
Baru berkuasa memperlihatkan dampaknya pada kondisi seperti ini. Konon, ini
adalah urusan martabat sebagai bangsa dan negara berdaulat, sehingga pemerintah
Indonesia dituntut untuk tegas terhadap Australia. Berbagai pendapat
bermunculan prihal langkah tegas seperti apa yang dimaksud untuk menyingkapi
‘ulah’ tetangganya ini. Ada yang berpendapat agar pemerintah Indonesia
memulangkan Dubes Australia untuk Indonesia, memutus hubungan diplomatik dengan
Australia, hingga pada titik yang ekstrem menyatakan perang.
Di tengah meningkatnya suhu patriotisme, jarang sekali
muncul pendapat berbeda yang coba membedah isu ini lebih dalam. Memang pendapat
kritis sulit muncul jika seseorang terbelenggu oleh dogma-dogma ‘kepentingan
bangsa dan negara’ adalah diatas segalanya. Oleh karena itu, tulisan ini
mencoba memberikan cara pandang yang lain sehingga rakyat tidak bersikap reaksioner
terhadap permasalahan ini. Akhirnya, pada posisi rakyat lah akan diuji ada apa
dibalik peristiwa ini dan siapa yang diuntungkan dalam diskursus nasionalisme.
Indonesia-Australia:
Antara Cinta dan Benci
Hubungan Indonesia dan Australia selalu saja menarik
untuk diperbincangkan. Tidak saja dari sejarahnya bahwa Australia adalah salah
satu negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indonesia dan bahkan
dipercaya mendampingi Indonesia saat perundingan Renville. Selain itu juga dari aspek kemanusiaan, kebudayaan dan ekonomi,
Australia adalah pihak luar pertama yang mengirimkan bantuan sesaat setelah
gempa bumi dan tsunami di Aceh. Sementara itu, setiap tahun ada sekitar 12.000
mahasiswa Indonesia yang belajar di Australia, serta belum pula terhitung turis australia tiap tahunnya di Bali. Tentu sebuah hubungan yang tidak
sesederhana ‘kemarau setahun dihapus hujan sehari’.
Layaknya dua sejoli yang sedang menjalin cinta tentu
ada pasang surutnya. Hubungan Indonesia dan Australia menghadapi prahara ketika
Australia berbalik ‘menyudutkan’ Indonesia peristiwa Timor Leste. Selain itu,
kebijakan memperketat masuknya para pengungsi atau pencari suaka ke Australia
oleh Pemerintah Australia mendorong Indonesia yang menjadi lintasan para
pengungsi menjadi ‘penjaga gerbang’ Australia. Bagi pemerintah Australia saat
ini persoalan pencari suaka yang membanjiri Australia diletakkan dalam posisi
yang prioritas sehingga Indonesia masih diharapkan memainkan peran sebagai
‘penjaga gerbang’.
Singkat kata, hubungan kedua negara memang tidak mudah
namun tidak pula sulit. Sehingga kecil kemungkinan akan terjadi pemutusan hubungan
diplomatik antara Indonesia dan Australia. Jika demikian, kita perlu cara
pandang lain dalam melihat masalah penyadapan ini yang keluar dari bingkai
hubungan internasional di mana Indonesia mengklaim dirinya sebagai ‘korban’.
Tentu saja seorang korban tidak begitu saja menerima tindakan dari luar
(pelaku) secara pasif, melainkan ia akan berusaha meresponnya sedemikian rupa
guna membuat posisinya menjadi menguntungkan.
Di tengah terpuruknya kepercayaan publik terhadap
pemerintah dan partai berkuasa (Partai Demokrat) tentu berita penyadapan ini
memiliki makna signifikan. Pertama, peristiwa ini berpotensi untuk dimanfaatkan
untuk menaikkan justifikasi rejim SBY yang sedang berada dititik nadir akibat
badai korupsi yang menerjang tanpa henti dan mengalami impotensi. Terlebih lagi
setelah digeledahnya rumah Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat,
yang telah mendeklarasikan ‘perang’ terhadap SBY secara terbuka. Kedua, masih
berhubungan dengan yang pertama, yakni pemberitaan media untuk sementara waktu
dapat beralih ke luar negeri.
Untuk memobilisasi dukungan terhadap rejim, rasa
nasionalisme kemudian dipakai. Strategi politik yang masih efektif digunakan
dalam sejarah. Dengan memalingkan perhatian melalui penciptaan ‘musuh bersama’
di luar sana, rejim berharap dapat
mengkonsolidasikan kekuatan nasionalis di dalam negeri yang pada
gilirannya dapat memulihkan kembali kepercayaan publik. Melihat pasang surut
hubungan Australia – Indonesia yang telah mensejarah, dapat dipastikan
permasalahan sadap menyadap ini pun akan berakhir dengan happy ending.
Jangankan menyadap penguasa asing yang kebijakannya
seringkali tidak terduga, sebuah rejim pun tidak segan-segan menyadap dan
memata-matai rakyatnya sendiri. Hal ini juga yang dibongkar oleh Edward Snowden
atas skandal program NSA di Amerika Serikat. Jadi, sadap-menyadap merupakan
suatu hal yang lumrah dalam dunia intelejen, karena setiap rejim selalu
mengidap paronoia pada derajat tertentu baik terhadap kekuatan eksternal atau
kekuatan domestik yang berpotensi merubah keajegan rezim tersebut. Begitu pula kedua rejim Indonesia dan Australia.
Lelucon
Sebagai Perlawanan
Peristiwa ini sebaiknya dijadikan semacam lelucon
politik terhadap rejim yang telah gagal di segala bidang kecuali dalam
mengkonsolidasikan kekuatan predatoris dalam satu partai. Seperti biasanya,
pembicaraan SBY di publik hanya berisikan curhat-curhatan seorang presiden,
atau paling banter pernyataan sikap
‘prihatin’. Mungkin isi pembicaraan ini tidak akan jauh berbeda dengan isi
penyadapan dalam versi lebih vulgar seperti halnya sms-nya yang beberapa waktu
lalu beredar di publik.
Jika benar demikian, sebenarnya tidak ada kepentingan rakyat secara langsung yang terganggu oleh penyadapan ini. SBY terlalu sibuk dengan perbaikan
citra diri dan partainya menjelang 2014. Maka sebaiknya rakyat tidak perlu
menanggapi serius kegelisahan rejim ini. Dengan menjadikannya lelucon, maka
rakyat sedang melakukan
‘demistifikasi’ atas kekuasaan SBY. Karena mitos-mitos kesakralan
merupakan salah satu pilar kekuasaan, sehingga perlawanan juga harus diarahkan
untuk membongkar pilar tersebut.
Kandidat
Doctor of Philosophy (PhD)
Murdoch University,
Australia