Dongeng Sentosa Island dan
Wasiat Bali Benoa Marina
Oleh
Agung Wardana
Saya harus
mengakui bahwa saya memiliki privilege
untuk menginap di sebuah hotel berbintang di Singapura. Sebenarnya yang menarik
tentang hotel ini bukanlah fasilitas atau service
yang ditawarkan, tetapi lokasinya di Teluk Belangah Road dipertigaaan Sentosa
Gateway. Untuk pertama kalinya saya melihat dari seberang Sentosa Island.
Menyaksikan orang bepergian dengan ferry, monorel atau dengan kendaraan darat
ke resort yang terlihat begitu megah. Jadwal konferensi internasional yang saya
ikuti tidak memungkinkan saya untuk sekedar menginjakkan kaki di pulau yang
populer di kalangan kelas menengah Indonesia tersebut. Inilah sebuah dongeng
tentang Sentosa Island yang beberapa saat ini sering diperdengarkan guna
menggalang dukungan untuk membuat pulau serupa di Bali.
Sentosa Island
merupakan destinasi wisata ketiga di Singapura setelah Orchard dan China Town.
Pulau ini bukanlah pulau buatan, melainkan berasal dari pulau-pulau kecil yang
terbentuk secara alami di mana yang terbesar bernama Pulau Belakang Mati dan
dahulunya dihuni oleh komunitas nelayan, Orang Laut. Di era kolonial Inggris,
pulau ini digunakan sebagai pangkalan militer Inggris. Sejak 1972, kepulaun ini
dicanangkan sebagai kawasan wisata dengan membangun golf course. Selanjutnya,
pulau terus berkembang dengan melakukan reklamasi, menggabungkan pulau-pulau
kecil tersebut, guna memperluas daratan. Jadilah Sentosa Island seperti saat
ini lengkap dengan ‘invented tradition’
seperti mitos Merlion yang terus
dikembangkan guna menarik kunjungan turis ke kawasan ini.
Namun cerita
gelap di balik kemegahan pulau tersebut sayup-sayup bertahan. Jarang sekali
yang mengetahui bahwa World Trade Centre dirobohkan untuk membangun
penyeberangan, Harbour Front, dan mall megah berfasilitas lengkap. Tidak banyak
juga orang yang peduli bagaimana nasib Orang Laut yang dulu mendiami pulau
tersebut setelah dibangunnya resort berkelas dunia itu. Tidak hanya itu,
pangkalan militer yang memiliki makna penting dalam sejarah Singapura pun
lenyap ditelan oleh Underwater World, Fantasy Island, Asian Village atau pun
World Resort. Hal ini merupakan penghapusan ingatan sejarah dan budaya
masyarakat setempat oleh derasnya kekuatan modal. Jadi, Sentosa Island adalah
produk imajenasi yang membuldozer sejarah sebuah bangsa serta kehidupan
komunitas lokal dan dibangun di bawah rezim buruh migran murah.
Demam Pulau Resort di Bali
Pulau merupakan
topik yang selalu menarik untuk dibicarakan tidak saja dari aspek geografis,
keragaman hayati, kontestasi kedaulatan maupun pariwisata. Pulau yang memiliki
posisi terisolasi dari daratan yang lebih luas (mainland) memiliki karakteristik yang unik serta menjadi tempat
yang nyaman untuk para turis. Itulah sebabnya, sejak dulu pulau punya makna
signifikan untuk kegiatan rekreasi dan bersenang-senang sejak dikembangkannya Isle of Capri oleh orang Romawi. Di Bali
sendiri, pengembangan pulau resort telah dimulai sejak awal 1990an dengan
proyek kembar milik keluarga Cendana, yakni PT. Bali Turtle Island Development
(BTID) di Pulau Serangan dan PT. Bali Benoa Marina (BBM) di Teluk Benoa.
Bedanya, jika PT.
BTID mengajukan usulan untuk memperluas Pulau Serangan dengan jalan reklamasi,
PT. BBM sendiri berambisi membangun pulau buatan. Proyek PT. BBM ini telah
dipersiapkan dengan matang dan bahkan AMDAL pun dibuat oleh tim penyusun yang
terdiri dari nama-nama akademisi ‘besar’ yang berasal dari LPM UNUD. PT. BBM
ingin membangun setidaknya empat pulau baru, yakni: Cruise Ship Terminal Island
(43,7 Ha), Golf Course Island (164 Ha), Bali Village Island (39,5 ha), Venice
Island (22 Ha). Namun, ambisi PT. BBM harus menerima kenyataan untuk berhenti
terkena dampak ekonomi dari krisis moneter dan dampak politik dari kejatuhan
Rezim Orde Baru.
Saat ini di Bali
kita sedang dihadapkan pada polemik PT. TWBI dan beberapa perusahaan lainnya
yang ingin mewarisi ambisi PT. BBM untuk membangun pulau resort di Teluk Benoa.
Kemudian, apa yang bisa kita pelajari dari sejarah Sentosa Island dan proyek
PT. BBM?
Sebelum menjawab
hal itu, saya mesti pertegas sekali lagi bahwa saya tetap menolak menggunakan
istilah ‘reklamasi’ dalam polemik Teluk Benoa. Saya masih bertahan dengan
istilah ‘pulau koloni’ dengan maksud jelas untuk menekankan totalitas proyek
PT. TWBI yang tidak saja merupakan proyek fisik namun proyek ini juga bermakna
simbolik. Sebagai proyek fisik merujuk pada proses pembuatan pulau baru dengan
jalan reklamasi, kemudian dilanjutkan dengan konstruksi fasilitas pariwisata
dan pendukungnya. Pihak yang membatasi cara pandang hanya di ranah fisik akan
terjebak pada argumentasi legal atau tidak legal serta debat teknis dampak
lingkungan (fisik) antara layak dan tidak layak.
Sekedar bayangan
saja, sekarang mari kita berhitung. Proyek PT. BBM dengan luasan pulau total
269,2 Ha dibutuhkan sekitar 24 juta meter kubik material reklamasi seperti
pasir, tanah, batu kali dan lumpur. Maka pembuatan pulau oleh PT. TWBI dengan
luas 838 Ha (tiga kali lipat PT. BBM) akan dibutuhkan material reklamasi
sebanyak 72 juta meter kubik. Dengan material sebanyak ini cukup untuk menimbun
Danau Batur dan Danau Beratan hingga rata dengan permukaan tanah. Hal tersebut
tentu belum termasuk kebutuhan air, listrik, dan dampak lingkungan berupa
sampah, intrusi air laut serta abrasi.
Di sisi lain
makna simbolik dari proyek pulau koloni ini jarang terungkap. PT. TWBI atau pun
perusahaan lain sebenarnya ingin merebut sejarah dan imajenasi kita atas Bali.
Bagi korporasi ini, Bali yang ‘otentik’ adalah Bali yang disimulasikan di pulau
koloni melalui proyek ‘reinvented
tradition’ guna dikonsumsi oleh para orang kaya. Lokasi konsumsinya pun
dibuat begitu ekslusif dan ‘steril’ dari pengaruh negatif dinamika sosial di
Bali. Ini juga wasiat imajenasi PT. BBM dengan ambisi membangun Bali Village
Island sebagai miniatur Bali yang lebih mudah dikontrol dan diarahkan sesuai
keinginan pasar pariwisata. Imajenasi yang sama juga ada di balik Asian Village
di Sentosa Island. Hal ini menunjukkan bagaimana imajenasi diwarisi dan
melintasi batas territorial, sistem politik maupun aktor.
Namun ada satu
hal yang utama dalam proyek imajenasi ini, yakni mereka tunduk pada prinsip
akumulasi modal sehingga sifat predator dan ekspansif dari proyek tersebut
merupakan sebuah keniscayaan untuk terus tumbuh. Inilah jawaban atas pertanyaan
saya mengapa tidak ada perkampungan nelayan atau penduduk lagi di sekitar
Sentosa Island. Mereka harus tersingkir dan terpinggir jika tidak ingin dilibas
oleh pembangunan dan pariwisata bagi orang kaya dari seluruh dunia. Jika demikian,
tidak mustahil ini juga bisa terjadi di sekitar pulau koloni Teluk Benoa
nantinya. Demi menjaga kondusifitas serta agar tidak mengganggu pemandangan
akibat adanya kesenjangan mencolok antara pulau koloni dengan kawasan
sekitarnya, maka kawasan tersebut harus ‘ditata’. Jangan lupa, di balik setiap
penataan, selalu ada makna penggusuran.
Jika dilihat
lebih jauh, sejatinya proyek Pulau Koloni oleh PT. TWBI atau korporasi lainnya
di Teluk Benoa merupakan pembajakan atas harapan masyarakat Tanjung Benoa untuk
memulihkan Pulau Pudut. Jadi antara memulihkan Pulau Pudut dan membangun Pulau
Koloni merupakan dua hal yang berbeda. Jika memang rehabilitasi Pulau Pudut
yang memiliki makna sejarah dan sosial-budaya bagi masyarakat setempat
merupakan sebuah keharusan, maka pertanyaannya:
Apakah
rehabilitasi tersebut hanya bisa dilakukan oleh PT. TWBI dengan konsesi yang
sangat beresiko yakni mendukung pembuatan Pulau Koloni?
Dan, tidakkah ada
alternatif untuk menyelamatkan Pulau Pudut yang terus terkikis sehingga kita
tidak usah berdebat panjang lagi tentang perlu tidaknya dibuat Pulau Koloni di
Bali?
Penulis, Kandidat Doktor
di Asia Reseach Center
Murdoch University, Australia
di Asia Reseach Center
Murdoch University, Australia
Telah dipublikasikan di Beritabali.com pada 25 Januari 2014